Tag Archives: internis

Dispepsia

dispepsia
Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen/perut bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar diepigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung padasaluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa.Untuk dispepsia fungsional,
keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi. Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional. Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan
44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus. Di Indonesia, data prevalensi infeksi Hp (Helicobacter pylori) pada pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100% dan untuk pasien dispepsia fungsional sebanyak 20-40% dengan berbagai metode diagnostik (pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi). Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaanendoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia (2003-2004) ditemukan sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi terendah di Jakarta (8%).
Patofisiologi
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Hp dan obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui. Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas viseral,dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah
genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.
1. Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung dalam menerima makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan pengosongan lambung. Gangguan motilitas gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme
utama dalam patofisiologi dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah makan, yang dapat berupa distensi abdomen, kembung, danrasa penuh.
2. Peranan hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal lambung bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia.
3. Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan tingkat keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas berperan pada terjadinya dispepsia fungsional.
4. Peranan asam lambung
Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia fungsional. Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam dari beberapa penelitian pasien dispepsia fungsional. Data penelitian mengenai sekresi asam lambung masih kurang, dan laporan di Asia masih kontroversial.
5. Peranan infeksi Hp
Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai 87%. Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun eradikasi Hp memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional. Penanda biologis seperti ghrelin dan leptin , serta perubahan ekspresi muscle-specific microRNAs berhubungan dengan proses patofisiologi dispepsia fungsional, yang masih perlu diteliti lebih lanjut.
DIAGNOSIS
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III.Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti
konsep dari kriteria diagnosis Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional. Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
• Nyeri epigastrium
• Rasa terbakar di epigastrium
• Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
• Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia.
bagan dispepsia
Gambar 1.Alur Diagnosis dispepsia belum diinvestigasi
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien-pasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu:
• Penurunan berat badan (unintended)
• Disfagia progresif
• Muntah rekuren atau persisten
• Perdarahan saluran cerna
• Anemia
• Demam
• Massa daerah abdomen bagian atas
• Riwayat keluarga kanker lambung
• Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi.
bagan dispesia Hp
lanjutan bagan dispepsia Hp
Tata Laksana
1. Dispepsia yang belum di investigasi
Strategi optimal untuk tatalaksana ini memberikan terapi empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal yaitu pemeriksaan adanya Hp. Obat yang digunakan berupa antasida, PPI (Pompa Proton Inhibitor seperti, omeprazole, rabeprazole, lansoprazole), H2-reseptor agonis, prokinetik, sitoprotektor seperti rebamipide.
2. Dispepsia yang telah diinvestigasi
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empirik, melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau tanpa pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dispepsia fungsional. Setelah investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus dispepsia ditemukan GERD sebagai kelainannya.
a. Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misal rabeprazole 2×20 mg/ lanzoprazole 2×30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3×100 mg.
b. Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi dispepsia fungsional.
Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular. Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien
dengan dispepsia fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dispepsia fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 dibandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding plasebo. Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin sentral mungkin merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi antidepresan pada pasien dispepsia fungsional.
3. Tata laksana dispepsia dengan infeksi Hp
Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap gejala dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectional pada 21 pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010) didapatkan bahwa terapi eradikasi memberikan perbaikan gejala pada mayoritas pasien dispepsia dengan persentase perbaikan gejala sebesar 76% dan 81% penemuan Hp
negatif yang diperiksa dengan UBT. Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi eradikasi Hp dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan
klaritromisin) selama 7 hari lebih baik dari terapi selama 5 hari.

tatalaksana dispepsia Hp

Pada daerah dengan resistensi klaritromisin tinggi, disarankan untuk melakukan kultur dan tes resistensi (melalui sampel endoskopi) sebelum memberikan terapi. Tes molekular juga dapat dilakukan untuk mendeteksi Hp dan resistensi klaritromisin dan/atau fluorokuinolon secara langsung melalui biopsi lambung. Setelah pemberian terapi eradikasi, maka pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan dengan menggunakan UBT atau H. pylori stool antigen monoclonal
test. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam waktu paling tidak 4 minggu setelah akhir dari terapi yang diberikan. Untuk HpSA, ada kemungkinan hasil false positive.
Sumber :
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter Pylori oleh Perkumpulan Gastrointerologi Indonesia (2014)